Hilangnya akal sehat demi menolak eksistensi tuhan dengan berkedok empirisme dan sainstisme adalah bentuk kecacatan berpikir akut yang telah menjangkiti sebagian ilmuwan sekuler yang menganut doktrin materialisme terlebih lagi bagi mereka yang sudah terlanjur "mengimani" dogma Ateisme yang irasional sehingga muncullah berbagai paradoks kaum ateis untuk menafikkan kausalitas, realitas dan mengabaikan rasionalitas.
هُوَ ٱلَّذِى خَلَقَ لَكُم مَّا فِى ٱلْأَرْضِ جَمِيعًا ثُمَّ ٱسْتَوَىٰٓ إِلَى ٱلسَّمَآءِ فَسَوَّىٰهُنَّ سَبْعَ سَمَٰوَٰتٍ ۚ وَهُوَ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌ
Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu (Qs Al Baqarah 2:29).
untuk menganalisis kelemahan & kesalahan doktrin ateisme yang menolak keberadaan Tuhan, dapat ditinjau dari berbagai perspektif dan disiplin ilmu diantaranya :
Pertama Perspektif Filsafat Metafisika
Salah satu metodologi logis untuk menyanggah ateisme ialah Filsafat metafisika yang mencoba memahami hakikat realitas dan eksistensi di luar dunia fisik yang dapat diobservasi. Salah satu argumen mendasar dalam metafisika adalah argumentum ontologicum (argumen ontologis), yang diusulkan oleh filsuf seperti Anselmus dan Descartes. Argumen ini berpendapat bahwa konsep "Tuhan" sebagai suatu entitas yang memiliki kesempurnaan mutlak adalah lebih masuk akal dan konsisten dengan keberadaan daripada ketidakberadaan. Dalam hal ini, ateisme mengalami masalah karena, dari perspektif ontologis, keberadaan sesuatu yang mutlak atau tak terbatas (seperti Tuhan) dianggap perlu untuk menjelaskan kenapa sesuatu bisa ada alih-alih tidak ada sama sekali.
Filsuf kontemporer seperti Alvin Plantinga mengemukakan modal logic atau logika modal dalam argumen ontologisnya. Plantinga berargumen bahwa, jika mungkin ada suatu entitas yang disebut Tuhan, maka Tuhan harus ada di semua kemungkinan dunia. Ateisme cenderung gagal memberi penjelasan tentang mengapa ada sesuatu dari pada ketiadaan..?
Kedua Perspektif Kosmologi
Kosmologi merupakan cabang ilmu yang mempelajari asal-usul dan perkembangan alam semesta. Dalam kosmologi, big bang dianggap sebagai momen awal dari waktu dan ruang. Salah satu argumen teistik adalah bahwa big bang, sebagai sebuah peristiwa yang memiliki awal, membutuhkan suatu penyebab. Argumen kosmologis menyatakan bahwa segala sesuatu yang memiliki awal atau perubahan dalam eksistensinya memerlukan penyebab eksternal yang tidak bergantung pada alam semesta itu sendiri.
Ateisme sering menyatakan bahwa alam semesta bisa saja eksis tanpa penyebab, atau bahwa big bang tidak memerlukan entitas eksternal. Namun, pandangan ini bertentangan dengan prinsip kausalitas yang menjadi dasar sebagian besar ilmu fisika. Di sisi lain, fine-tuning atau ketepatan nilai konstan-konstan fisika yang sangat tepat untuk memungkinkan kehidupan menunjukkan bahwa ada perencanaan atau desain tertentu. Argumen ini memperkuat hipotesis bahwa ada Desainer yang mengatur alam semesta sedemikian rupa sehingga kehidupan bisa ada.
Ketiga Perspektif Biologi Molekuler
Dalam biologi, khususnya biologi molekuler, kompleksitas yang luar biasa pada tingkat molekul dan seluler menjadi perhatian besar. DNA, sebagai materi genetik, memiliki kode yang sangat teratur dan informasi yang berfungsi mengatur perkembangan makhluk hidup secara presisi. Banyak ilmuwan seperti Francis Collins berpendapat bahwa struktur dan kompleksitas DNA menunjukkan adanya "bahasa" atau "desain" yang mendasari makhluk hidup.
Ateisme biasanya bergantung pada teori evolusi untuk menjelaskan kompleksitas kehidupan. Namun, mekanisme evolusi yang berlandaskan mutasi acak dan seleksi alam tidak mampu sepenuhnya menjelaskan asal mula informasi genetik yang kompleks. Hipotesis bahwa makhluk hidup muncul hanya karena proses kebetulan mengalami banyak kritik karena tidak mampu menjelaskan sumber informasi dan aturan yang sangat presisi dalam sistem biologis. Dengan demikian, keberadaan desain yang tidak acak sering kali diinterpretasikan sebagai bukti adanya Desainer.
keempat Perspektif Psikologi dan Antropologi
Psikologi dan antropologi memberikan wawasan tentang kecenderungan manusia untuk percaya kepada Tuhan atau entitas transendental. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa manusia memiliki naluri atau kecenderungan alami untuk mempercayai adanya kekuatan yang lebih besar. Ateisme menyatakan bahwa keyakinan ini adalah hasil evolusi atau adaptasi psikologis, namun hal ini tidak dapat sepenuhnya menjelaskan mengapa hampir semua masyarakat manusia memiliki kepercayaan kepada Tuhan atau konsep spiritual lainnya.
Evolusi memang bisa menjelaskan sebagian alasan mengapa manusia membangun komunitas yang memiliki kepercayaan. Namun, fakta bahwa keyakinan ini terus berkembang dalam hampir semua kebudayaan menunjukkan bahwa ada kecenderungan bawaan atau universal pada manusia untuk mencari tujuan hidup yang lebih dalam dan terhubung dengan sesuatu yang lebih besar dari diri mereka sendiri.
Kelima Perspektif Etika dan Moralitas
Masalah moralitas juga sering dikaitkan dengan keberadaan Tuhan. Dalam ateisme, konsep moralitas didasarkan pada standar sosial atau kontrak sosial, yang berarti bahwa moralitas adalah konstruksi manusia semata. Namun, banyak filsuf berpendapat bahwa standar moral yang benar-benar obyektif membutuhkan dasar transenden yang tak berubah, yaitu Tuhan. Tanpa adanya dasar transenden, nilai-nilai moral hanya akan menjadi subjektif dan relatif sesuai dengan perubahan budaya atau kehendak mayoritas.
Ateisme menghadapi kesulitan dalam menjelaskan mengapa prinsip-prinsip seperti keadilan, kasih, dan kebaikan secara obyektif harus dipatuhi. Hal ini membawa kita kepada the moral argument atau argumen moral, yang menyatakan bahwa nilai moral obyektif menunjukkan adanya entitas yang memberi nilai atau moralitas absolut ini. Tuhan, dalam hal ini, dipandang sebagai sumber moralitas yang obyektif dan konsisten.
khulashoh
Berdasarkan berbagai Perspektif (worldview) ini terbukti bahwa klaim ateisme yang menolak keberadaan Tuhan dengan berkedok empirisme dan sains merupakan kedunguan yang tak terbatas dari hilangnya akal sehat & kewarasan.
Alhasil, Sebagai seorang yang Adil apalagi ilmuwan harusnya bisa bersikap objektif & disiplin dalam menggunakan istilah ilmiah dengan membedakan bahwasanya empirisme hanyalah Salah Satu metode ilmiah untuk mengobservasi perkara fisik dan inderawi
وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۖ وَيُعَلِّمُكُمُ ٱللَّهُ ۗ وَٱللَّهُ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌ
Dan bertakwalah kepada Allah; Allahlah yang mengajarimu; dan Allah Maha Mengetahui atas segala sesuatu (Qs Al Baqarah 2:282)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar