" Persatuan merupakan kunci meraih pertolongan dan kemenangan Allah azza wa jalla "
Dengan demikian dibutuhkan Pemahaman yang benar & komprehensif (syumuliyyah) tentang Islam termasuk perkara bid'ah yang dengannya akan menyelamatkan kita dalam beriman dan beramal serta membersihkan agama dari setiap penyimpangan dan kesesatan dalam Aqidah dan ibadah serta menghindarkan kita dari berbagai perselisihan dan sikap saling menyalahkan ta'zir (mencela), tadhlil (menyesatkan) bahkan takfiri (mengkafirkan).
Definisi bid'ah
البدعة لغَةً : مِنْ بَدَعَ الشَّيْءَ يَبْدَعُهُ بَدْعًا ، وَابْتَدَعَهُ : إِذَا أَنْشَأَهُ وَبَدَأَهُ .وَالْبِدْعُ : الشَّيْءُ الَّذِي يَكُونُ أَوَّلاً ، وَمِنْهُ قَوْله تَعَالَى : قُل مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنَ الرُّسُل
Bid’ah secara bahasa: berasal dari ba-da-‘a asy-syai’ yabda’uhu bad’an wa abtada’ahu: artinya mengadakan dan memulai. Dan Al Bid’u : adalah sesuatu yang ada pertama kali, dengan makna ini allah azza wa jalla berfirman:
قُلْ مَا كُنتُ بِدْعًا مِّنَ ٱلرُّسُلِ وَمَآ أَدْرِى مَا يُفْعَلُ بِى وَلَا بِكُمْ ۖ إِنْ أَتَّبِعُ إِلَّا مَا يُوحَىٰٓ إِلَىَّ وَمَآ أَنَا۠ إِلَّا نَذِيرٌ مُّبِينٌ
Katakanlah: aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul dan aku tidak mengetahui apa yang akan diperbuat terhadapku dan tidak (pula) terhadapmu. Aku tidak lain hanyalah mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku dan aku tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan yang menjelaskan (Qs al Ahqaaf 46:9)
Al alim syaikh atho' abu rusytah hafidzahullah dalam soal jawabnya menjelaskan :
adapun bid'ah secara syar'i adalah perbuatan yang menyalahi perintah asy-Syâri’ (Allah dan Rasul) yang telah dinyatakan atau dijelaskan tatacara (kaifiyyah) penunaiannya.
Dengan kata lain bid'ah perkara baru yang bertentangan dengan Syariat. Adapun perkara atau perbuatan yang menyalahi atau menyelisihi hukum-hukum syara’ (Syariah) yang tidak dinyatakan tatacara pelaksanaanya, maka itu masuk dalam bab hukum syara’ baik khitob taklifi berupa halal haram pada benda, wajib, sunnah (mandub), mubah, makruh dan haram maupun khitob wadh'inya berupa sah, batal, fasad dll pada perbuatan.
Bahkan Ibnu Rajab alhambali dalam kitab Jâmi’ul Ulum Wal Hikam menyatakan:
وَالْمُرَاد بِالْبِدْعَةِ مَا أُحْدِثَ مِمَّا لاَ أَصْل لَهُ فِي الشَّرِيعَة يَدُلّ عَلَيْهِ ، وَأَمَّا مَا كَانَ لَهُ أَصْل مِنْ الشَّرْع يَدُلّ عَلَيْهِ فَلَيْسَ بِبِدْعَةٍ شَرْعًا وَإِنْ كَانَ بِدْعَة لُغَة
Yang dimaksud dengan bid’ah adalah apa apa yang diadakan yang tidak ada pokok (asal/dasar)nya dalam syari’ah yang menunjukkan atasnya, adapun jika ada asal/pokok/dasar dari syari’ah maka itu bukan termasuk bid’ah secara syar’i, walaupun itu bid’ah secara bahasa.
Sedangkan mubtadi' atau pelaku Bid'ah ialah :
المبتدع من خرج عن الحق. والحق :كل ما وافق الكتاب و السنة والإجماع والقياس
Ahli Bid'ah ialah orang yang keluar (menyelisihi) dari kebenaran. Adapun kebenaran adalah segala sesuatu yang sesuai Al-Qur'an, As sunnah, Ijmak dan Qiyas [ Jalaaul afham syarhul Aqidatul awam Hal 19 Haiah As shofwah 2020 ]
Memahami dalil bid'ah secara Benar
Imam Muslim didalam shohihnya meriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdullah:
… فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرَ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
… Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan dan setiap bid’ah adalah sesat…
Pada riwayat lain Imam Muslim juga telah mengeluarkan didalam Shahîh-nya dari Jarir bin Abdullah, ia berkata: orang-orang arab badui datang kepada Rasul saw, dan mereka memakai pakaian tebal dan kasar maka beliau melihat buruknya kondisi mereka dimana kebutuhan telah menimpa mereka. Maka Beliau mendorong orang-orang untuk bersedekah. Mereka lambat sehingga terlihat hal itu dalam wajah beliau. Jarir berkata: kemudian seorang laki-laki dari Anshar datang dengan membawa dirham, kemudian datang yang lain, kemudian berturut-turut sehingga diketahui kebahagiaan di wajah beliau. Maka Rasulullah saw bersabda:
«مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً، فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا، وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً، فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا، وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ»
“Siapa yang mencontohkan di dalam Islam contoh yang baik, lalu dilakukan setelahnya karena contohnya itu, dituliskan untuknya semisal pahala orang lain yang melakukannya, dan tidak mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan siapa saja yang mencontohkan di dalam Islam contoh yang buruk, lalu dilakukan setelahnya karenanya, dituliskan atasnya semisal dosa orang yang melakukannya tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun.”
Dari sini secara zhahir tampak seakan terdapat Pertentangan (Ta'arudh). lafadz Kullu (setiap/semua) pada asalnya bermakna Amm (umum) namun juga bisa bermakna mu'zhom atau sebagian besar jika terdapat dalil-dalil takshis yang membatasi cakupan maknanya seperti hadits kedua diatas sehingga makna kullu pada kalimat kullu bid’ah (setiap bid’ah) disini adalah dimaksudkan untuk makna sebagian bukan makna keseluruhan, yakni bid’ah yang buruk saja berdasarkan kaidah ithlaaqul kulli wa iraadatul juz’i (yang disebut semua namun yang dimaksud adalah sebagian) seperti firman Allah subhanahu wa ta'la :
أَمَّا السَّفِينَةُ فَكَانَتْ لِمَسَاكِينَ يَعْمَلُونَ فِي الْبَحْرِ فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيبَهَا وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا
Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera.
Kalimat “merampas tiap-tiap bahtera” (يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا) maksudnya bukan semua kapal, namun kapal yang baik-baik saja, oleh karena itu dikatakan “aku bertujuan merusakkan bahtera itu” yakni agar tidak dirampas raja. Jadi kata kullu (setiap) bisa digunakan untuk menyatakan sebagian saja yaitu kapal yang bagus saja sehingga tidak termasuk kapal yang ditumpangi nabi musa dan khidir as yang Rusak meskipun Allah menjelaskan pada ayat yang mulia ini menggunakan kata "Kulla"
contoh lain juga Allah jelaskan didalam alqur'an bahwasnya :
وَجَعَلْنَا مِنَ ٱلْمَآءِ كُلَّ شَىْءٍ حَىٍّ ۖ أَفَلَا يُؤْمِنُونَ
Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu (setiap/semua) yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman ?(Qs Al Anbiyaa' 21:30)
pada ayat ini Allah azza wa jalla menjelaskan segala sesuatu Allah ta'ala ciptakan dari air, namun telah ma'lum kita ketahui bersama bahwasanya jin Allah ciptakan dari Nar (api) dan malaikat Allah ciptakan dari Nur (cahaya) padahal Allah telah menegaskan dalam ayat ini bahwasanya Allah SWT menciptakan segala/setiap sesuatu yang hidup berasal dari pada air dengan menggunakan frase " kulla syain hayyun".
inilah yang disebut dalam kaidah ushul ithlaaqul kulli wa iraadatul juz’i (yang disebut semua namun yang dimaksud adalah sebagian) sehingga tidak terjadi Ta'arudh (pertentangan) satu makna dalil dengan dalil lainnya yang dikenal dengan kaidah ammun makhsus yakni kata yang bersifat umum namun dilalahnya khusus sehingga setiap kata kullu tidak boleh diartikan hanya secara mutlak atau keseluruhan tapi juga bisa bermakna sebagian atau mu'zhom bergantung pada Qorinah-Qorinah yang meliputinya seperti dua contoh ayat diatas.
Lalu apakah setiap bid'ah itu sesat...?
Berdasarkan Penelaahan nash-nash hadits dan Al-Qur'an yang shahih dan teliti kita dapati Syariat islam tidaklah memutlakan setiap perkara yang baru (hadits) merupakan bid'ah yang sesat, tetapi harus dilakukan Pengkajian & Penggalian hukum terhadap realitas faktanya (Pahmul waqoiq) sebagai manathul hukmi (objek hukum) serta mengkaji dalil-dalil yang berkaitan dengannya (Pahmun nushus) melalui proses ijtihad yang syar'i.
الْحَدِيثُ نَقِيضُ الْقَدِيمِ ، وَالْحُدُوثُ : كَوْنُ شَيْءٍ بَعْدَ أَنْ لَمْ يَكُنْ
Al hadits (sesuatu yang baru) itu adalah lawan dari qadiim (yang terdahulu), dan huduts: keberadaan sesuatu setelah sebelumnya tidak ada. dimana belum ada yang melakukan hal yang baru tersebut dimasa Nabi Saw.
disinilah pentingnya peran seorang mujtahid yang bertugas menggali nash-nash syar'i baik AlQur'an maupun Assunnah untuk mengistimbat (menetapkan hukum syara') yang shahih.
Al hafizh almuhadits imam ibnu hajar al haitsami menukil didalam kitabnya fathul mubin :
قال الشافعي: ما أُحدث و خالف كتابا أو سنةً أو إجماعا أو أثرا فهو البدعة الضالة. و ما أحدث من الخير ولم يخالف شيئا من ذلك... فهو البدعة المحمودة
Al imam As Syafi'i Rahimahullah menjelaskan: Apa saja yang dibuat-buat dan menyelisihi Al-Qu'ran, As Sunnah, ijma' sahabat dan atsar. maka ia adalah bid'ah dholalah. sedangkan perbuatan yang dibuat-buat diantara kebaikan yang tidak bertentangan dengan Al-Qu'ran, as sunnah, ijma', Qiyas syar'i maka itu adalah bid'ah mahmudah
الحاصل: أن البدع الحسنة متفق على ندبها. وهي ما وافق شيئا ممّا مرّ ولم يلزم من فعله محذور شرعي، ومنها ما هو فرض كفاية كتصنيف العلوم و نحوها مما مرّ
kesimpulannya : bahwasanya bid'ah hasanah disepakati atas kesunahannya terhadap perbuatan yang sesuai Nash atau dalil yang lalu dan tidak temasuk larangan yang syar'i mengerjakannya bahkan diantara fardhu kifayah seperti penyusunan ulumul Syar'iyyah dan lainnya (Majmu syuruh Arba'in hal 225 Markaz ibnul jauzi Mesir 2022)
Batasan bid'ah
لا تتوقف على أمر بها بخصوصها وكذا يقال في كل تخصيص لدليل عام بدليل خاص أو عام، لأنه حينئذ عليه أمر الشرع، بخلافه لغير دليل
Pengamalan dalil umum tidak bergantung (bersandar) dengan kekhususannya. demikianlah dinyatakan pada setiap pengkhususan bagi dalil yang umum terhadap dalil yang khusus ataupun umum. oleh karena itu wajiblah mengamalkan dalil umum Sebagaimana yang telah diperintahkan Syariat. ini berbeda dengan amalan yang tidak memiliki dalil (Majmu syuruh Arba'in hal 229 Markaz ibnu jauzi Mesir 2022)
Namun, Untuk memperjelas bahwasanya penggunaan lafadz kullu itu tidaklah selalu mutlak melainkan terdapat takhsis dan taqsim dapat kita perhatikan dan tadabburi firman Allah azza wa jalla ini :
ذَٰلِكُمُ ٱللَّهُ رَبُّكُمْ ۖ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۖ خَٰلِقُ كُلِّ شَىْءٍ فَٱعْبُدُوهُ ۚ وَهُوَ عَلَىٰ كُلِّ شَىْءٍ وَكِيلٌ
Demikian itu ialah Allah Tuhanmu; tidak ada Tuhan selain Dia; Pencipta segala sesuatu, maka sembahlah Dia; dan Dia adalah Pemelihara segala sesuatu (Qs Al An'aam 6:102)
Pada ayat ini dijelaskan Allah SWT menciptakan segala sesuatu menggunakan lafadz "kulli" dimana bila maknanya dipaksa harus mutlak tanpa pengkhususan (takhsis) dan tanpa batasan (Qoyid) Maka berarti Allah menciptakan segalanya termasuk dirinya sendiri. Tentu ini adalah Pemahaman yang keliru, bathil dan menyesatkan. Maha suci Allah azza wa jalla yang azali (tak berawal dan tak berakhir) dzat yang Maha hidup (Al hayyu) lagi Maha berdiri sendiri tanpa bergantung pada sesuatu apapun (Al qoyyum).
Demikian pula Bid'ah hasanah dalam pembagian Aqidah Trinitas wahabi berupa 3 (trilogi) Tauhid dimana Nabi saw tak pernah membuatnya, sahabat nabipun tak pernah melakukannya begitu pula para salafush sholeh tak pernah mengajarkan dan mencontohkan ajaran Trinitas Tauhid ini Bahkan imam Ahlus sunnah wal jamaah sekalipun imam Abul hasan al As'ary tidak pernah melakukan bid'ah pembagian tauhid seperti ini.
Inilah sebagian Almu'aradh asy syar'i (sanggahan syar'i) untuk mendudukkan serta Memahami makna kullu secara shahih dimana tidak semua Bid'ah itu Sesat, tetapi harus ditafriq (pisahkan) dan ditafshil (rinci) agar Kita Selamat dari kekeliruan Karena Salah menarik kesimpulan.
Begitu pula Amirul mukminin fil hadist Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalany menukilkan:
قَالَ الشَّافِعِيّ " الْبِدْعَة بِدْعَتَانِ : مَحْمُودَة وَمَذْمُومَة ، فَمَا وَافَقَ السُّنَّة فَهُوَ مَحْمُود وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوم " أَخْرَجَهُ أَبُو نُعَيْم بِمَعْنَاهُ مِنْ طَرِيق إِبْرَاهِيم بْن الْجُنَيْد عَنْ الشَّافِعِيّ ، وَجَاءَ عَنْ الشَّافِعِيّ أَيْضًا مَا أَخْرَجَهُ الْبَيْهَقِيُّ فِي مَنَاقِبه قَالَ " الْمُحْدَثَات ضَرْبَانِ مَا أُحْدِث يُخَالِف كِتَابًا أَوْ سُنَّة أَوْ أَثَرًا أَوْ إِجْمَاعًا فَهَذِهِ بِدْعَة الضَّلاَل ، وَمَا أُحْدِث مِنْ الْخَيْر لاَ يُخَالِف شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَهَذِهِ مُحْدَثَة غَيْر مَذْمُومَة "
Imam Asy Syafi’i Ra berkata: Bid’ah itu ada dua: yang terpuji (mahmudah) dan tercela (mazmumah), bid'ah yang sesuai sunnah maka ia terpuji, sedangkan bid'ah yang menyelisihi sunnah maka ia tercela” dikeluarkan Abu Nu’aim dengan maknanya dari jalan Ibrahim bin Junaid dari imam Asy syafi’i, dan dari Asy Syafi’i juga yang dikeluarkan oleh Al Baihaqi dalam manaqibnya berkata: “al muhdatsaat (yang diada adakan) itu ada dua bagian, yang bertentangan dengan kitab, atau sunnah, atau atsar atau ijma’ maka ini adalah bid’ah yang sesat, dan apa yang diadakan berupa kebaikan tidak bertentangan dengan sesuatupun dari yang demikian (kitab, atau sunnah, atau atsar atau ijma), maka ini adalah muhdatsah yang tidak tercela”
Dibagian lain Al Hafidz imam Ibnu Hajar Al asqolani mengutip Al Izzu bin Abdissalaam (wafat 660 H):
وَقَالَ اِبْن عَبْد السَّلاَم : فِي أَوَاخِر " الْقَوَاعِد " الْبِدْعَة خَمْسَة أَقْسَام " فَالْوَاجِبَة " كَالاشْتِغَالِ بِالنَّحْوِ الَّذِي يُفْهَم بِهِ كَلاَم اللَّه وَرَسُوله لانَّ حِفْظ الشَّرِيعَة وَاجِب ، وَلاَ يَتَأَتَّى إِلاَ بِذَلِكَ فَيَكُون مِنْ مُقَدَّمَة الْوَاجِب ، وَكَذَا شَرْح الْغَرِيب وَتَدْوِين أُصُول الْفِقْه وَالتَّوَصُّل إِلَى تَمْيِيز الصَّحِيح وَالسَّقِيم " وَالْمُحَرَّمَة " مَا رَتَّبَهُ مَنْ خَالَفَ السُّنَّة مِنْ الْقَدَرِيَّة وَالْمُرْجِئَة وَالْمُشَبِّهَة " وَالْمَنْدُوبَة " كُلّ إِحْسَان لَمْ يُعْهَد عَيْنُهُ فِي الْعَهْد النَّبَوِيّ كَالاجْتِمَاعِ عَلَى التَّرَاوِيح وَبِنَاء الْمَدَارِس وَالرُّبَط وَالْكَلاَم فِي التَّصَوُّف الْمَحْمُود وَعَقْد مَجَالِس الْمُنَاظَرَة إِنْ أُرِيدَ بِذَلِكَ وَجْه اللَّه " وَالْمُبَاحَة " كَالْمُصَافَحَةِ عَقِب صَلاَة الصُّبْح وَالْعَصْر ، وَالتَّوَسُّع فِي الْمُسْتَلَذَّات مِنْ أَكْل وَشُرْب وَمَلْبَس وَمَسْكَن . وَقَدْ يَكُون بَعْض ذَلِكَ مَكْرُوهًا أَوْ خِلاَف الاوْلَى وَاللَّهُ أَعْلَمُ .
Dan telah berkata Ibnu Abdissalaam dalam akhir kitab “al qawa’id”, “Bid’ah itu ada lima bagian,
1. Bid'ah yang wajib; seperti belajar ilmu nahwu (dan balaghah) untuk memahami kitabullah dan sunnah rasul-Nya, karena menjaga syari’ah itu wajib, dan tidak bisa terlaksana kecuali dengan nya (nahwu) maka itu menjadi pembuka yang wajib…,
2. Bid'ah yang haram; (pemikiran) apa yang ditetapkan oleh yang menyelisihi sunnah, dari kalangan Qadariyah, Murjiah dan Musyabbihat (yang menyerupakan Allah dengan makhluq),
3. Bid'ah yang mandub/sunnah; setiap kebaikan yang tidak dilakukan pada masa nabi, seperti tarawih berjama’ah, membangun madrasah, rubath, perkataan dalam hal tasawwuf yang terpuji, mengadakan majelis diskusi/ceramah jika yang dikehendaki adalah ridlo Allah SWT
4. Bid'ah yang mubah ; seperti bersalaman setelah sholat subuh dan ashar, mencukupi diri dengan yang lezat2 berupa makanan, minuman, pakaian dan rumah, serta
5. Bid'ah yang makruh atau khilaful ‘aula (menyelisihi yang utama)
Standar amal
Ringkasnya, Menyalahi tatacara yang dilakukan oleh Rasul dalam menunaikan perintah dari al-Kitab dan as-Sunnah, penyimpangan ini menjadi bid’ah sayyiah yang di dalamnya ada dosa besar. Dan perkara tersebut wajib ditunaikan sebagaimana Rasul Saw menunaikannya dengan perbuatan beliau (ittiba' lil arrasul).
Adapun apabila terdapat amaliyah yang terlihat seakan menyalahi atau menyelisihi ketentuan asy-Syari’(Allah dan Rasul) yang bersifat mutlak atau umum yang asy-Syâri’ TIDAK menjelaskan rincian tatacara penunaian atau pelaksanaannya, maka perkara ini masuk dalam hukum-hukum syara’ baik “khitob at-taklif –haram, makruh…” ataupun “khitob al-wadh’i –batil, fasad, sah dll meskipun ia merupakan bid'ah hasanah misalnya seperti penyusunan mushaf al-Qur'an yang Kita baca dan amalkan saat ini pada awalnya ditolak oleh sahabat mulia khalifah Abu bakar as shiddiq RadhiyaAllahu anhu karena dianggap bid'ah dan bertentangan dengan hadits nabi Sholallahu alaihi wasallam sebagaimana dinukilkan Al Hafizh Al muhaddits Imam Suyuti didalam Ulumul Qur'annya :
"فقلت لعمر "كيف تفعل شيئا لم يفعله رسول الله ؟
Maka aku (Abu bakar) berkata kepada Umar bin khattab : "bagaimana engkau akan melakukan sesuatu yang nabi Saw tidak pernah melakukannya...?"
(Al itqon fi ulumil Qur'an Bab ke-18 fii jam'ihi wa tartibihi Hal 90 Cek DKI Beirut)
Maka jika Rasul tidak melakukan suatu perbuatan sementara kita melakukannya, maka pembahasannya masuk dalam bab hukum syara’ dari sisi khithab at-taklif atau khithab al-wadh’i sehingga jelaslah hukum syara’ tentangnya apakah fardhu, mandub (sunnah), mubah, makruh atau haram… ataukah batil, fasid, sah…
kesimpulannya :
Terminologi bid'ah hanya digunakan oleh para salafus sholeh dalam persoalan Aqidah dan ushul (prinsip pokok) Ibadah bukan dalam furu' (cabang) ibadah dan dalam akad-akad muamalah yang merupakan ruang lingkup hukum syara’.
Dengan demikian miqyasul amal atau standar kebenaran amal seorang muslim dalam beribadah dan muamalah adalah hukum syara' atau Syariah islam yakni Wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram yang diistimbat (digali) dari Al-Qu'ran dan As-sunnah serta apa yang ditunjuk oleh keduanya ijma' sahabat dan Qiyas syar'iyah bukan yang lainnya.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَأَطِيعُوا۟ ٱلرَّسُولَ وَأُو۟لِى ٱلْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَٰزَعْتُمْ فِى شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya.(Qs An Nisa 4:59)
3 komentar:
Alhamdulillah... sangat terbantu, jazakallahu khair ustadz. Semoga Allah membalasnya dengan kebaikan yang berlipat-lipat. Aamiin
jazakallah kheir ilmunya ustadz
Waiyyakum mitsluhu akhiinaa
Posting Komentar