Selasa, 05 Maret 2024

Adil menyikapi perbedaan

Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:

لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِٱلْبَيِّنَٰتِ وَأَنزَلْنَا مَعَهُمُ ٱلْكِتَٰبَ وَٱلْمِيزَانَ لِيَقُومَ ٱلنَّاسُ بِٱلْقِسْطِ ۖ 

Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan Timbangan (keadilan) agar manusia dapat berbuat dengan Adil (Qs al Hadiid 57:25)

Kebenaran islam berdiri diatas keadilan bukan kepentingan apapun dan siapapun sehingga siapa saja yang mempelajarinya dengan Jujur dan lengkap atau utuh akan menemukan bahwasanya Syariat Islam  begitu adil dan manusiawi bukan sekedar informasi dan pengetahuan semata tetapi merupakan Tuntunan, Standar dan Solusi kehidupan manusia.

Namun ada pertanyaan yang sering Kali muncul kenapa Tuhannya satu, AlQur'annya satu dan hadistnya pun juga satu dari Nabi muhammad Saw tetapi mengapa bisa terjadi perbedaan didalam islam...? 

Islam bersumber dari Allah SWT Rabb yang maha benar lagi maha sempurna namun kita makhluknya hanyalah manusia yang tidaklah sempurna bahkan terbatas jangkauannya dalam memahami hakikat segala sesuatu sehingga sangat dimungkinkan terjadinya perbedaan interpretasi (penafsiran) dan ijtihad (penggalian hukum syariah) yang beragam baik disebabkan khilaful aula (meninggalkan yang lebih utama), salah dalam memahami waqi' (fakta) yang menjadi manathul hukmi (Objek hukum) atau tidak tepat dalam beristidlal (menerapkan dalil atas fakta) juga disebabkan perbedaan bangunan ushul fiqih dan Qowaid syar'iyah yang meniscayakan terjadinya Perbedaan. 

Diantara Sebab-sebab terjadinya perbedaan (ikhtilaf) :

1. Pahmul waqoiq (Pemahaman terhadap fakta)

Terkadang perbedaan itu berawal dari perbedaan dalam mendeskripsikan fakta (waqi') secara benar dan utuh yang muncul dari perbedaan input informasi, pendekatan (metodologi) dan sudut pandang (worldview) sehingga menghasilkan manathul hukmi (objek hukum) yang beragam atas suatu realitas yang sama

2. Pahmun nushus (Pemahaman terhadap dalil)

Persoalan berikutnya ialah perbedaan dalam Memahami dalil serta penetapan wajhul istidlal dari keragaman sumber hukum islam (mashodirul ahkam) juga menjadi faktor utama dengan berbagai kategorisasi, tingkatan serta tinjauannya. Dari sini bila kita menemukan tidak ada nash atau dalil yang terlihat lebih kuat dari pada yang lainnya ini disebut sebagai al-ta’âdul.

sebenarnya Al-Ta’âdul ini tidak akan terjadi pada dalil-dalil yang bersifat qath’iy (Pasti). Sebab, tidak akan terjadi pertentangan di antara beberapa nash atau dalil yang qhath’i. Juga tidak akan terjadi antara dalil yang qhath’i dengan dalil yang zhanniy. Sebab, yang qhath’i harus didahulukan terhadap yanag zhanniy. Begitu juga al-ta’âdul ini tidak akan terjadi antar dalil-dalil yang zhanniy dilihat dari sisi fakta pensyari’atan (al-wâqi’ al tasyrî’i)

3. Perbedaan ushul al Qowaid as syar'iyyah

Ushul fiqh merupakan kumpulan kaedah-kaedah syar'iyyah untuk mengistimbat (menetapkan) hukum syara' dari dalil-dalil syar'i terhadap Fakta atau perbuatan.

Maka langkah awal dalam proses ijtihad ialah melakukan Tahqiqul manath (mendeskripsikan fakta secara benar dan utuh) serta melakukan tahqiqul adillah (Pengkajian Nash-Nash syar'i yang berkaitan dengan manathul hukmi yang tepat).

Adapun khilafiyah (perbedaan) yang muncul  dari tsaqofah (nilai-nilai & cara pandang) diluar islam  bukanlah termasuk ikhtilaf (Perbedaan) melainkan inhirof (Penyimpangan) yang harus ditinggalkan

4. At tarjih bainal adillatihat 

Selanjutnya untuk mendapatkan hukum syara' yang Rajih (lebih kuat) disaat terjadinya pertentangan diantara dalil-dalil syara' dimana terdapat sebagian dalil yang lebih kuat dari yang lainnya, maka kasus seperti ini disebut al-tarjîh. Yaitu menguatkan salah satu diantara dua dalil terhadap yang lainnya agar bisa diamalkan. Secara bahasa,  al-tarjîh berarti mencondongkan (al-tamyîl) dan mengalahkan (al-taghlîb).

Al-Tarjîh hanya ada pada dalil-dalil yang zhanniy. Tidak bisa terjadi dalam dalil-dalil yang qhath’i, karena tidak akan terjadi pertentangan di antara dali-dalil yang qhathiy.

1. Mengkompromikan Dalil yang Kelihatan Bertentangan (al-Jam’ bayn al-Adillah)

Mekanisme awal yang harus ditempuh ialah mengkompromikan di antara berberapa dalil yang kelihatannya bertentangan (al-jam’ bayn al-adillah) yakni dengan mengamalkan kedua dalil (yang kelihatannya bertentangan). Apabila hal itu memungkinkan, maka itulah asalnya (yang harus di ambil). Jika tidak memungkinkan maka baru kita berpegang kepada al-tarjîh, karena mengamalkan kedua dalil yang bertentangan lebih utama daripada meninggalkannya

2.  Apabila Rasulullah saw menyampaikan suatu perkataan, kemudian melakukan suatu pekerjaan yang bertentangan dengan perkataannya. Maka pekerjaan itu khusus bagi beliau saw, sedangkan perkataannya merupakan penjelasan bagi kita umatnya. 

Contohnya: Hukum ta'adud (Poligami) menikah lebih dari 4 orang istri sekaligus hanya berlaku bagi beliau saw dan haram bagi umatnya. sebab Allah azza wa jalla berfirman :

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا۟ فِى ٱلْيَتَٰمَىٰ فَٱنكِحُوا۟ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ مَثْنَىٰ وَثُلَٰثَ وَرُبَٰعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا۟ فَوَٰحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَٰنُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰٓ أَلَّا تَعُولُوا۟

Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.(Qs An Nisa 4:3) 

Al-Muhkam adalah induk bagi al-Mutasyâbih

 Allah SWT berfirman:

هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آَيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ

Dia-lah yang menurunkan al-Kitab (al-Qur’an) kepadamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat itulah pokok-pokok isi al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihat (QS Ali Imran [3]: 7)

Dari ayat yang mulia ini lahirlah kaidah ushul fiqh "apabila terdapat dua ayat yang satu muhkam dan satunya lagi mutasyabih maka yang mutasyabih harus ditafsirkan dengan yang muhkam".

(Lihat At taisir fii ushuli at tafsiir hal 30-39)

contoh lain misalnya Penentuan awal dan akhir Ramadhan Hukum yang paling Rajih ialah Ru'yat Global yang harus diikuti sebagaimana kesepakatan jumhur ulama meskipun demikian kita tidak diperkenankan untuk mencela ijtihad berdasarkan mathla' ( tempat munculnya hilal). namun sayangnya penetapan yang terjadi saat ini lebih berdasarkan tapal batas Nasionalisme (wilayatul hukmi) bahkan berdasarkan kepentingan / keputusan Politis atau egosentris Penguasa atas sentimen kebangsaannya maka ini bukanlah Ketetapan syar'i yang wajib diikuti misalnya seperti Samarinda diKaltim dengan serawak malaysia dan berunei darussalam yang berada pada satu mathla' yang sama di pulau kalimatan tapi terkadang menetapkan 1 Ramadhan dan 1 Syawal yang berbeda-beda mengikuti keputusan negaranya masing-masing bukan berdasarkan mathla' yang meliputinya.

Syaikh Abdurrahman al-Jaziri w. 1941 M rahimahullah menjelaskan:

إذا ثبت رؤية الهلال بقطر من الأقطار وجب الصوم على سائر الأقطار، لا فرق بين القريب من جهة الثبوت والبعيد إذا بلغهم من طريق موجب للصوم. ولا عبرة باختلاف مطلع الهلال مطلقاً، عند ثلاثة من الأئمة؛ وخالف الشافعية: إذا ثبتت رؤية الهلال في جهة وجب على أهل الجهة القريبة منها من كل ناحية أن يصوموا بناء على هذا للثبوت، والقرب يحصل باتحاد المطلع، بأن يكون بينهما أقل من أربعة وعشرين فرسخاً تحديداً، أما أهل الجهة البعيدة، فلا يجب عليهم الصوم بهذه الرؤية لاختلاف المطلع

Apabila rukyat hilal telah terbukti disalah satu negeri, maka negeri yang lain wajib juga berpuasa. Dari segi pembuktiannya tidak ada perbedaan lagi antara negeri yang dekat dengan yang jauh apabila informasi rukyat hilal itu memang telah sampai kepada mereka dengan cara terpercaya yang mewajibkan puasa.

Tidak diperhatikan lagi di sini adanya perbedaan mathla’ hilal secara mutlak. Demikianlah pendapat tiga imam madzhab (Abu Hanifah, Malik, Ahmad). Para pengikut mazhab Syafi’i berpendapat lain: Apabila rukyat hilal di suatu daerah telah terbukti, maka atas dasar pembuktian ini, penduduk yang terdekat di sekitar daerah tersebut wajib berpuasa.

Ukuran kedekatan di antara dua daerah dihitung menurut kesamaan mathla’, yaitu jarak keduanya kurang dari 24 farsakh. Adapun penduduk daerah yang jauh, maka mereka tidak wajib berpuasa dengan rukyat ini, karena terdapat perbedaan mathla’. ( Al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-Arba’ah, hal 298 Darul 'alamiyah )

Bersikap adil dan bijaksana

Dengan memahami hakikat perbedaan sudah semestinya kita bersikap hati-hati, teliti, adil dan bijaksana. Tidak memukul rata (generalisir) apalagi saling menyalahkan, membenci bahkan bermusuhan dalam menyikapi perbedaan (khilafiyah) pada ruang ijtihad yang beragam. 

Al Qodhi Taqiyuddin rahimahullah mengingatkan kita : 

لا يصح أن يقول حملة الدعوة عن فهمهم،  أن هذا هو رأي الإسلام،  بل عليهم أن يقولوا عن رأيهم، إن هذا رأي إسلامي

Tidak dibenarkan bagi seorang Pengemban dakwah (da'i) mengatakan atas pemahamannya ini adalah pendapat islam tapi hendaklah mereka mengatakan atas pendapatnya ini adalah pendapat yang islami. (Mafahim hizb at-tahrir Hal 28 )

Bahkan Allah subhanahu wa ta'ala berfirman : 

وَلا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلا تَعْدِلُواۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى

Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada ketakwaan (Qs al Maidah 5 : 8)

Tidak ada komentar: